Minggu, 05 Februari 2012

H.W. DAENDELS DI JAWA (1808-1811) Dalam Kondisi Nusantara

Di awal Januari 1795, Napoleon menaklukkan negeri Belanda tanpa perlawanan yang berarti. Raja Willem V melarikan diri dan bersembunyi di Kew, sebuah kota kecil di Inggris. Sebagai ganti Willem V, Napoleon mendudukkan adiknya, Louis Bonaparte, di tahta kerajaan Belanda. Segera ia memerintahkan untuk mengantisipasi serangan dari Inggris terhadap tanah jajahan. Ada tiga target utama serangan Inggris yaitu; Tanjung Harapan, Jawa dan kepulauan Maluku. Ketiga tempat tersebut berada didalam blokade angkatan laut Inggris. Napoleon pun mengirim dua orang militer untuk tujuan itu. Jendral Jan Willem Janssen di kirim ke Tanjung Harapan tahun 1803 dan Marshall Herman Willem Daendels ke Jawa tahun 1808.
H.W. Daendels adalah seorang jendral Belanda, pengagum Napoleon dan Jacobis. Ia memimpin perlawanan yang gagal terhadap kerajaan Oranje pada 1787. Setelah kegagalannya, ia lari ke Prancis. Ia kembali ke Belanda, 1795, bersama serangan Prancis. Sejak itu, Belanda terlibat dalam perang Eropa di pihak Prancis. 1797, Daendels memimpin 30.000 pasukan Belanda di Texel, menunggu invasi Inggris yang sedang dalam pertempuran laut di Camperdown. 1799, ia hampir menjadi tawanan perang di pertempuran Helder.
Di awal 1800-an, Inggris dan Prancis mengkonsentrasikan kekuatan perangnya di wilayah India dan Mesir. Secara tak terduga Tanjung Harapan sebagai pelabuhan strategis dapat di kuasai Inggris tahun 1806, Jawa berada dalam posisi terancam. Jawa membutuhkan seorang gubernur-jendral baru yang dapat memperkuat pertahanan militer. Untuk alasan itu, Napoleon tidak mempercayai pejabat Asiatic Council, Dirk van Hogendorp, seorang liberalis yang dicalonkan sebagai gubernur jendral. Maka pilihan jatuh pada Daendels.
Daendels menempuh perjalanan melalui Cadix, Tanger, Kepulauan Kanari dan New York. Dengan kapal dagang berbendera Amerika, Daendels tiba di Batavia pada Januari 1808. Amerika adalah negara netral yang tidak terlibat dalam perang Eropa. Kedatangannya seorang diri menggunakan nama samaran van Vlierden (nama istrinya) dengan kapal tersebut, dimaksudkan untuk mengelabui blokade kapal perang Inggris. Kedatangannya di Batavia, ia langsung berhadapan dengan keadaan keuangan dan administrasi yang buruk. Korupsi membuat bangkrut VOC. Keuntungan dagang lebih banyak masuk ke kantong pejabat VOC. Kekuatan pasukan Belanda di Jawa tidak lebih dari 2.000 orang dengan kemampuan dan disiplin yang rendah.
Pada saat yang hampir bersamaan dengan dikuasainya Belanda oleh Prancis, VOC dibubarkan. Herren XVII (dewan beranggotakan 17 orang pengusaha besar Belanda) ditiadakan. Sebagai gantinya, seluruh jajahan Belanda langsung berada dibawah penguasaan kerajaan Belanda dan diurus oleh kementerian jajahan (Pemerintah kolonial Belanda di Nusantara menguasai Jawa, Palembang, Makassar dan Maluku, sisanya dikuasai oleh Inggris). Pengaruh langsung dari pergantian itu adalah soal otonomi pengaturan keuangan dan pembentukkan angkatan perang.
Segera setelah menginjakkan kakinya di Weltevreden, Daendels mengganti bendera Belanda di depan kantor gubernuran dengan bendera Prancis. Tak ada seorang pegawai pun yang berani bereaksi atas tindakannya itu. Begitu pula ketika ia mengeluarkan aturan bahwa pegawai pemerintah kolonial dilarang untuk memberi dan menerima hadiah dari pejabat pribumi. Setiap kesalahan akan ditindak dengan keras dan tak luput dari dampratan dengan suaranya yang sangat keras. Hobi membentak dan suaranya yang menggelegar membuatnya mendapat panggilan mas guntur dan mas galak. Berdiri di atas ketaatan para pegawainya, ia membangun pasukan dalam jumlah dan organisasi yang cukup mengesankan. Pasukannya terdiri dari orang-orang Belanda dan pribumi. Ia menghentikan penggunaan orang-orang Jawa dalam pasukan inti nya dan menggantinya dengan orang-orang dari Madura, Makasar, Bali, Ambon dan budak-budak dari wilayah jajahan lainnya. Sistem kepangkatan dalam organisasi militer eropa diterapkan pula dalam pasukan pribumi. Mereka mendapat latihan, pangkat, ransum, seragam, senjata dan juga upah. Dalam dua tahun, ia berhasil membentuk 20.000 orang pasukan yang terdiri dari lima divisi; divisi mobile, tiga divisi kota (Batavia, Semarang, dan Surabaya) dan divisi pertahanan di luar Jawa. Ia mengatur korps tentaranya dengan gaya Prancis dan mengubah banyak industri komersial menjadi industri militer, seperti pabrik-pabrik di Gresik menjadi senjata dan di Semarang diubah menjadi penghasil mesiu.
Sebagai bagian dari proyek militernya, Daendels juga membangun instalasi militer seperti pelabuhan militer di Surabaya dan benteng di Mester Cornelis serta sebuah jalan utama dari Anyer hingga Panarukan. Sebelumnya, hanya ada jalan setapak yang diketahui oleh penduduk setempat dan itupun selalu disertai dengan penebasan hutan. Jalur perdagangan lebih mengutamakan penggunaan jalur laut sepanjang pantai utara.
Kesulitan jalur darat itu memang telah menjadi perhatian pihak kolonial seperti yang dituturkan oleh Francois Tombe. Tombe adalah seorang perwira Prancis yang dikirim oleh Daendels dua tahun sebelum kedatangannya. Tugasnya adalah membuat peta selat Bali. Sayangnya, ia terdampar di Banyuwangi dan kemudian memutuskan melakukan perjalanan ke Surabaya. Perjalanan itu memakan waktu enam bulan.
Dari sekian banyak proyek Daendels dalam kurun waktu tiga tahun kepemimpinannya, pembuatan jalan utama Anyer-Panarukan adalah yang paling besar pengaruhnya. Bahkan diluar yang dibayangkan olehnya sebagai fasilitas yang mempercepat mobilitas pasukan (Dengan kekuatan lautnya, Inggris mempunyai kemungkinan untuk mendarat dimanapun sepanjang pantai utara Jawa. Oleh karena itu, mustahil bagi Daendels untuk terus mengawasinya. Baginya, adalah paling penting membangun pasukan infanteri dengan mobilitas yang tinggi untuk mengantisipasi penyusupan lebih jauh dari pasukan Inggris). Belum diperoleh waktu yang tepat kapan pembuatan jalan tersebut dimulai. Hanya saja, bersamaan dengan pembuatan jalan, ia juga mendirikan jasa pos dan telegraf yang kemudian menjadi nama jalan Anyer-Panarukan, groote postweg (jalan raya pos). Tercatat pada 1810 Daendels telah membeli 200 ekor kuda — alat pengangkut pos — yang menandakan jalan Anyer-Panarukan telah selesai. Pada tahun ini juga ia menghidupkan kembali surat kabar yang sebelumnya pernah terbit dan mati, Bataviasche Koloniale Courant. Surat kabar ini terus terbit hingga berakhirnya kekuasaan kolonial di Indonesia.
groote postweg di buat dalam jangka waktu sekitar satu tahun. Pembuatannya memaksa pada penguasa pribumi setempat, yang dilewati jalan tersebut, untuk mengerahkan penduduk di wilayah cacah-nya. Jarak yang ditempuh oleh Groote postweg adalah sekitar 800 mil. Dalam jarak itu, dibangun 12 pesanggrahan, 126 stasiun untuk kereta, 51 stasiun untuk penggantian kuda-kuda pos, semuanya didirikan atas tanggung jawab bupati setempat. Menurut laporan yang didapat oleh Raffles, pembuatan jalan tersebut memakan korban sekitar 10.000 orang. Dalam situasi perang Inggris-Prancis di Nusantara, seluruh aktivitas Daendels dipantau oleh biro urusan intelejen Inggris yang berpusat di Penang.
Februari 1808, Du Fuy menghadap Sultan Banten untuk meminta pekerja untuk pengerjaan jalan dan pembuatan pelabuhan militer di Merak. Sultan Banten yang berseteru dengan pemerintah kolonial sejak masa VOC menolak. Ia melihat peperangan antara Inggris dan Prancis memberikan kesempatan baginya untuk memberontak apalagi pasukan Daendels dianggap belum cukup siap untuk menghadapi peperangan. Atas alasan itu, ia membunuh Du Fuy dan menghabisi seluruh garnisun kecil pemerintah kolonial di Banten. Atas tindakannya itu, segera Daendels mengirim 1.000 pasukan yang dipimpinnya langsung. Kesultanan Banten berhasil dikuasai bahkan Daendels sambil duduk di tahta kerajaan berujar, “akulah raja Banten”. Kesultanan Banten kemudian dihapus dan ia mengirim saudaranya untuk menjadi residen di sana (Kemudian hari ia merehabilitasi kesultanan Banten dan menentukan siapa yang duduk di tahta kerajaan. Banten tidak sepenuhnya aman dari gangguan karena sering adanya pemberontakan yang dibantu oleh Inggris.)
Sebagai penganut jacobism, Daendels menghancurkan kekuatan raja-raja Jawa. Setelah Banten, ia mencoba mengatasi kesultanan Yogyakarta. Mangkunegara II di Surakarta telah memutuskan untuk bekerjasama dengan Belanda. Atas perintah Daendels pada 1808, Mangkunegara II mendapat pangkat kolonel dan membentuk Legiun Mangkunegara beranggotakan 1.150 prajurit serta mendapat bantuan 10.000 ryksdaalders pertahun. Sementara itu, Saudara ipar Sultan Hamengkubuwana II, Raden Rangga melancarkan pemberontakan atas Daendels yang secara diam-diam mendapat dukungan dari Sultan Hamengkubuwana II. Dengan 3.200 pasukan, Daendels dapat mengatasi pemberontakan. Pangeran Rangga terbunuh dan Sultan Hamengkubuwana II diturunkan dari tahta serta digantikan oleh putra mahkota. Atas pembangkangan itu, dua orang pangeran, Natakusuma dan Natadiningrat, dikirim ke penjara Cirebon.
Menjelang akhir jabatannya, Daendels menghadapi banyak persoalan. Perjalanan kepemimpinannya telah membangun tembok kebencian baik dikalangan Belanda maupun Pribumi. Beberapa suku yang menjadi anggota pasukannya membelot dan menolak berperang di pihaknya. Belum dapat dipastikan apakah itu ada kaitannya dengan kegiatan intelejen Inggris.
Proyek besar Daendels memakan banyak biaya. Sementara keadaan keuangannya semakin memburuk. Blokade Inggris menyebabkan hilangnya pemasukan dari sektor perdagangan. Bahkan untuk mata uang, Daendels harus mengeluarkan assigant (Mata uang kertas yang biasa digunakan di Prancis)sebagai pengganti mata uang tembaga yang bahannya harus diimpor. Satu-satunya pemasukan yang diperolehnya adalah dari pajak (Pajak dikenakan pada penjualan barang, tol jalan, penjualan & penyewaan tanah, judi, rumah madat dan banyak lagi.), pencetakan assigant, dan penjualan tanah seperti. Contoh penjualan tanah seperti yang berlangsung pada wilayah Besuki dan Panarukan kepada Kapiten Cina di Surabaya, Han Chan Pit. Terakhir ia menjual tanah seluas Besuki dan Panarukan di Probolinggo kepada saudara Han Chan Pit, Han Ki Ko.
Pada masa Daendels, ia memindahkan ibukota pemerintahan dari Batavia ke Weltevreden dan memindahkan tempat tinggal dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor). Dengan gajinya, 130.000 guilders, ia membeli tanah Buitenzorg ke pemerintah dan membangun sebuah istana megah bagi dirinya yaitu Istana Bogor. Tanah disekitar istana dijual kembali ke pengusaha Cina dan istananya dijual kembali kepada pemerintah. Pada saat hendak digantikan oleh W. Janssens, Daendels menjual istananya. Untuk penjualan itu, ia mendapat untung 900.000 guilders. Pada 27 April 1811, W. Janssens datang disertai oleh seorang mayor jenderal Prancis, Jumel. Segera Daendels diganti dan dipulangkan. Sebagai seorang tahanan.
4 Agustus 1811 60 kapal perang Inggris muncul di Batavia. 26 Agustus seluruh wilayah disekitar Batavia dapat dikuasai. Janssens bertahan di Semarang bersama legiun Mangkunegara dibantu pasukan Yogyakarta dan Surakarta. 18 September 1811, Janssens menyerah di Salatiga
Sumber  :
Nusa Jawa Silang Budaya I,II & III, Dennys Lombard
Raffles of The Eastern Isles, C.E. Wurtzburg
Nusantara, Vlekke
Sejarah Indonesia Modern, Ricklefs