Minggu, 22 Maret 2009

Sebabkan Anak Putus Sekolah

Perhatian Pemkab Solok terhadap perkembangan daerahnya, terutama daerah terisolir terus dilakukan. Dari berbagai kunjungan Bupati Solok H Gusmal ke beberapa daerah yang tergolong terisolir, persoalan jalan menjadi kebutuhan utama.
Daerah Sariak misalnya, menempuh daerah ini membutuhkan waktu yang lama. Karena kondisi jalan yang sulit ditempuh dengan jalur darat. Menurut Gusmal, Pemkab memperhatikan lebih pada jalan untuk membuka keterisoliran daerah. “Meski di darerah yang sulit ditempuh, kondisi kesehatan dan pendidikan masyarakat tidak terkendala,” katanya.

Selain persoalan jalan, Pemkab melalui berbagai program juga selalu memperhatikan persoalan pendidikan dan kesehatan. Minimnya sarana dua sektor ini, menyebabkan masyarakat tidak mengetahui pola hidup sehat serta banyaknya angka putus sekolah. Untuk mengatasinya, Pemkab telah melahirkan program sekolah satu atap dan puskesmas pembantu. Sekolah satu atap, diakuinya membantu menekan angka putus sekolah. Menurut Gusmal, munculnya angka putus sekolah disebabkan oleh banyak faktor.

Selain persoalan perekonomian, jauhnya lokasi sekolah dari rumah warga juga merupakan penyabab lain, orang tua lebih memilih anaknya tetap di rumah ketimbang harus ke sekolah. Dengan jarak sekolah yang jauh, orang tua harus mengeluarkan biaya transportasi, disamping kebutuhan sekolah lainnya. Belum lagi jauhnya lokasi sekolah ditambah tidak tersedianya sarana transportasi yang memadai juga menyebabkan munculnya angka putus sekolah ditengah-tengah masyarakat.

Narsisme Caleg dalam Facebook

Menjelang Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April 2009 dan Pemilu Presiden (Pilpres) 8 Juli 2009, pelbagai atribut kampanye seperti baliho, spaduk, bendera, kalender, stiker, banner, dan selebaran berserakan di banyak tempat strategis. Bahkan, diiklankan masif melalu pelbagai media massa.

Tak hanya itu, angkutan umum dan mobil pribadi disulap menjadi media kampanye, baik oleh caleg di semua tingkatan maupun bakal capres-cawapres. Di tengah iklim politik yang kompetitif, pemasangan pelbagai atribut kampanye yang menghiasi atau malah mengotori wajah Indonesia itu sebetulnya termasuk hal yang harus dilakukan setiap caleg dan atau bakal capres-cawapres.

Setidaknya, hal itu berfungsi sebagai sosialisasi untuk memperkenalkan profil diri, visi-misi, program kerja, blue print kepemimpinan caleg dan atau bakal capres-cawapres jika terpilih. Meski demikian, mencermati content dari pelbagai atribut kampanye, yang lebih dominan ternyata promosi diri caleg dan atau bakal capres-cawapres yang cenderung berlebihan. Narsis!

Narsisme

Narsisme merupakan perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Istilah narsisme itu pertama digunakan seorang psikolog, Sigmund Freud, dalam bukunya On Narcissism: An Introduction (1914) dengan memperkenalkan seorang pemuda tampan bernama Narcissus.

Narcissus adalah tokoh dalam mitos Yunani yang dikutuk karena terlalu cinta terhadap bayangan sendiri. Pada bayangan dirinya saja Narcissus begitu cinta, apalagi pada tubuh fisiknya. Konon, banyak wanita cantik yang sangat kagum pada ketampanan Narcissus. Namun, karena terlalu cintanya Narcissus terhadap diri sendiri, dia menolak cinta para wanita, seperti peri cantik bernama Echos. Akibatnya, Dewi Nemesis pun menghukum Narcissus atas sakit hati Echos. Narcissus akhirnya tenggelam kala berkaca di kolam.

Merujuk pada mitologi Yunani tersebut, jelaslah bahwa kata narsis digunakan untuk menggambarkan perasaan cinta seseorang terhadap diri sendiri secara berlebihan. Menurut Andrew Morrison dalam buku Shame: The Underside of Narcissism (1997), dimilikinya sifat narsisme dalam jumlah yang cukup akan membuat seseorang memiliki persepsi yang seimbang antara kebutuhannya dalam hubungan dengan orang lain.

Meminjam istilah dalam kajian oksidentalisme, kesimbangan antara ego dan the other. Namun, bila jumlahnya berlebihan, narsisme bisa menjadi kelainan kepribadian yang bersifat patologis. Itulah kenapa narsisme sering diidentikkan dengan hal-hal negatif karena cirinya yang berlebihan. Di alam konteks narsisme caleg dan atau bakal capres-cawapres, sesungguhnya telah terjadi glorifikasi-diri (pemuliaan diri). Fenomena narsisme caleg dan atau bakal capres-cawapres digerakkan oleh hasrat memuliakan diri untuk sebuah kemenangan.

Hanya, glorifikasi diri itu termasuk proses psikologis ekstrem yang merebakkan ketidakseimbangan. Kalau di satu sisi terjadi glorifikasi diri, di sisi lainnya selalu terjadi proses psikologis kebalikannya, yakni demonisasi (penyetanan orang lain). Artinya, caleg dan atau bakal capres-cawapres yang memuliakan dirinya secara berlebihan telah "menyetankan" caleg dan atau bakal capres-cawapres lainnya.

Facebook

Di abad 21 yang oleh Alvin Toffler disebut sebagai abad teknologi-informasi ini, narsisme caleg dan atau bakal capres-cawapres ternyata tidak hanya ditemukan di tempat-tempat strategis seperti perempatan jalan raya atau media massa konvensional seperti radio atau televisi, melainkan sudah masuk ke sebuah layanan social networking baru bernama facebook. Sebagai salah satu pengguna layanan tersebut, saya sering mendapatkan ajakan pertemanan dari sejumlah caleg, bahkan bakal capres. Lebih dari itu, saya juga tak jarang mendapatkan ajakan be a supporter atau be a fan yang datang dari caleg dan atau bakal capres beserta tim suksesnya.

Dapat dipastikan, caleg dan atau bakal capres-cawapres menampilkan profil diri dan foto-foto terbaiknya di facebook yang didirikan dan diluncurkan lulusan Harvard, Mark Zuckerberg, pada 4 Februari 2004. Harapannya, caleg dan atau bakal capres-cawapres dari banyak partai politik bisa mendapatkan keuntungan politik seperti popularitas. Popularitas diyakini sebagai faktor penting bagi terpilih tidaknya seorang caleg dan atau bakal capres beserta cawapresnya.

Dengan pelbagai kemudahan dan fasilitas yang terkandung di dalamnya serta melihat pangsa pasar facebook yang memang lebih banyak berasal dari usia dewasa ke atas, tak salah jika facebook digunakan sebagai media baru untuk berkampanye. Mulai yang gratis hingga bertarif. Keberhasilan Obama menjadi presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat, antara lain, juga disumbang oleh nilai lebih facebook. Namun, di Indonesia yang warganya masih banyak "buta internet", berkampanye via facebook masih diragukan efektivitasnya.

Fenomena narsistis di facebook sebetulnya tidak hanya melanda caleg dan atau bakal capres-cawapres, melainkan banyak lagi pengguna facebook. Mereka yang punya pacar memajang foto terbaik bersama pacarnya. Mereka yang memiliki keluarga memajang foto bersama keluarga tercintanya dan mereka yang baru menikah memajang foto pernikahannya. Ini betul-betul dimabuk kepayang facebook.

Kamis, 19 Maret 2009

Kamis, 05 Maret 2009

Dari Penangkapan Anak Punk Kehangatan dan Kejujuran Punker, Terdidik padang Panjang


Pukul 01.00 WIB dinihari, udara Padangpanjang yang dingin menjadi saksi kehangatan yang tercipta dari kebersamaan sejumlah anak punk, pun ketika mereka ditangkap dan digelandang menuju kantor Satuan Polisi Pamong Praja Padangpanjang.
Seakan tak ada yang mereka risaukan. Tak ada yang mereka cemaskan. Para petugas Satpol PP bahkan sempat terlihat bingung oleh polah mereka yang rata-rata masih berusia belasan tahun itu. Sampai akhirnya, antara para petugas dengan para punker tersebut juga mulai terjalin keakraban.

Pasukan baret coklat tak dapat menahan rasa geli ketika sejumlah anak punk bercanda, bahkan ada yang sempat meluangkan waktu untuk menerima curhat bak sepasang teman setia. Rupanya begitulah adanya manusia, ditengah perbedaan tetap ada celah untuk sebuah persahabatan. Zy (21) tak menyangka perjamuannya terhadap teman-temannya sesama anak punk yang datang dari dalam dan luar Sumatera Barat akan berakhir di kantor Satpol PP Padangpanjang.

Tapi, apa hendak dikata, di Kota Serambi Mekkah, apa yang mereka lakukan tidak bisa diterima oleh norma yang berlaku dalam masyarakat. Ketika berbincang dengan POSMETRO, Sabtu (29/11) pemuda yang mengaku masih berstatus sebagai mahasiswa semester akhir di salah satu Universitas Negeri paling terkenal di Sumatera Barat ini menuturkan kisahnya di dunia jalanan itu.

“Awalnya saya berniat utuk menyambut teman-teman yang baru pulang dari sebuah acara di Padang. Mereka seyogyanya akan berangkat ke Pekan Baru untuk acara serupa, acara antar scene sebagai agenda rutin kami. Tapi ternyata teman-teman tidak sadar situasi, sayapun tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah mereka tidur dir el dan bercampur antar lelaki dan perempuan,” tuturnya.

Untuk acara kumpul-kumpul dan main band, yang sering mereka sebut sebagai parade itu, Zy mengaku terkadang perlu mengorbankan waktu kuliahnya. “Tapi alhamdulillah, nilai saya tidak pernah jeblok gara-gara ngepunk. Walau di kampus saya agak susah menyesuaikan diri, tapi bagi saya ilmu itu penting,” ujar pemegang instrument gitar dalam grup bandnya ini. Awalnya Zy hanya tertarik dari cara anak-anak punk bermusik.

Tapi lama-lama, katanya, ketertarikan itu juga sampai pada gaya hidup dan beberapa prinsip hidup. “Di punk saya juga mendapat ilmu tentang hidup, tentang bagaimana mengenali diri dan apa yang mesti saya yakini,” ucapnya.

“Saya seperti juga teman-teman bukan tak tahu aturan. Tapi kami hanya ingin merasakan kebebasan. Dan bagi kami, kebebasan memang mahal, harus dibayar dengan harga tak terkira. Dari itu, kami juga memahami situasi yang sedang berkembang. Sekarang sedang dekat dengan pemilu, sedang banyak penertiban.

Jadi kami agak jarang berkumpul, karena tidak mau dianggap pengganggu para penganut demokrasi,” ujarnya. Malam itu Zy menggunakan sweater hitam bertuliskan Ramones, salah satu group punk street yang digandrungi para punker Indonesia. Di lehernya mengalung tali hitam dengan buah hias sebuah pin bergambar Smily.

Dan atribut paling kentara di tubuhnya adalah sepasang sepatu boot kusam dengan tali pengikat yang berbeda warna. “Belum banyak yang saya ketahui, saya tahu saya harus belajar lebih dalam. Tapi setiap hari saya meyakinkan diri saya, bahwa punk adalah jalan yang terbaik. Bahkan kalau nanti tamat kuliah saya akan tetap ngepunk,” jelas pemuda yang mengaku berasal dari keluarga terdidik ini.

Selama berbincang di selasar dalam kantor Satpol PP Padang Panjang itu, puluhan orang teman Zy sedang menjalani proses pembinaan. Tapi, alangkah unik, mereka tak tampak panik atau pun cemas sama sekali. Tak sama denga para pelaku perbuatan amoral yang pernah di razia. Pagi dinihari itu, suasananya malah terkesan begitu hangat. Ada aura kekeluargaan dan rasa sepenanggungan yang mengalir. Sebagian anak-anak punk itu juga cepat akrab dengan para petugas satpol PP.

Tiap sebentar terdengar cekikan yang melompat dari mulut-mulut para pemakai kostum hitam yang menjadi ciri khas itu. Sebagian anggota punk memakai jaket kulit hitam dengan taburan paku, dan atribut logam lain disana-sini. “Sampai saat ini, saya belum pernah melihat antar anak punk tawuran. Bagi kami kebersamaan adalah segalanya.

Makanya kami cukup heran mengetahui perkelahian antar pelajar di Bukittinggi beberapa waktu belakang. Koq mereka bisa berkelahi sementara hidup mereka berkecukupan, sedangkan teman-teman saya ada yang pengamen atau pemulung tapi tetap menjaga kekompakan sesama orang menderita,” ucapnya. Zy mengakui yang mereka lakukan memang salah. “Kami tahu abang-abang anggota (satpol PP) hanya melaksanakan tugas.

Mungkin karena teman-teman kurang control, dan terlalu hanyut dengan kegembiraan sendiri sehingga tak sadar sedang berada di kota yang menjunjung norma agama. Jika ada kesempatan lain, ingin rasanya kami membuktikan apda masyarakat disini bahwa anak punk bukan perusuh, dan tak perlu dirisaukan,” tutupnya sambil melayangkan senyum sopan kepada penulis dan sejumlah petugas yang sejak awal telah simpatik dengan sang punker terdidik.

sumber: Posmetro Padang