Rabu, 22 September 2010

Social Studies

Perkembangan pendidikan ilmu-ilmu sosial di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pengembangan pendidikan ilmu-ilmu sosial di Amerika Serikat yang disebut dengan Social Studies, seperti yang dikemukakan oleh Somantrie (2005:1): “Diakui atau pun tidak, Social Studies yang telah berkembang cukup lama di Amerika Serikat telah memberikan inspirasi kuat kepada para pengembang kurikulum Ilmu Pengetahuan Sosial di Indonesia”.
Social Studies sebagai sebuah kajian baru terus dikembangkan oleh para ahlinya yang tergabung dalam sebuah organisasi keanggotaan utama para pendidik social studies di Amerika serikat, yaitu “the National Council for the Social Studies (NCSS)”. Banyak dokumen yang telah dihasilkan dalam upaya pengembangan Social Studies tersebut yang dilakukan oleh NCSS.
Pada tahun 1992, Social Studies telah dirumuskan kembali oleh “the Board of Directors of National Council for the Social Studies”. Rumusan definisi baru tersebut (dalam Sumantrie, 2005:3) adalah:
Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such discipline as anthropology, archaelogy, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purposes of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world.
Definisi di atas menunjukkan bahwa Social Studies di Amerika Serikat betul-betul diarahkan agar para siswa (young people) yang datang dari berbagai latar belakang dapat memiliki spektrum pengalaman belajar dan pengalaman hidup yang luas untuk menjadi warga negara yang kompeten dari masyarakat demokratis dan berbeda secara kultural dalam dunia yang saling tergantung.
Hampir sama dengan definsi di atas dengan penekanan untuk siswa tingkat dasar dan menengah, The Thesaurus of ERIC Descriptors (dalam Suyanto, 2005:3) memberikan definisi: “ … the social studies consist of adaptations of knowledge from the social sciences for teaching purposes at the elementary and secondary level of education”.
Di Indonesia, Social Studies diterjemahkan ke dalam suatu peristilahan baru yang seringkali dijadikan perdebatan di kalangan para ahli dan praktisi pendidikan. Peristilahan tersebut yang berkembang misalnya: ilmu pengetahuan sosial, pendidikan ilmu sosial, pendidikan ilmu pengetahuan sosial, studi sosial, sosial studi, ilmu sosial dasar, dan sebagainya.
Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Indonesia (HISPIPSI) misalnya menggunakan istilah Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dengan singkatan PIPS. HISPIPSI memberikan definisi PIPS (dalam Al Muchtar, 2004:15) sebagai berikut: “PIPS merupakan penyerderhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang diorganisis dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan”.
Somantri (2001:74) memberikan definisi Pendidikan IPS sebagai berikut: “Pendidikan IPS adalah suatu penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial, ideologi negara dan disiplin ilmu lainnya serta masalah-masalah sosial terkait, yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Menurut Hasan (1996:8) secara sederhana: “Pendidikan ilmu sosial adalah pendidikan mengenai disiplin ilmu-ilmu sosial”. Sebagai penjelasan definisi tersebut, Hasan (1996:8-14) menegaskan bahwa definisi tersebut berlaku sepenuhnya untuk pendidikan ilmu-ilmu sosial di perguruan tinggi. Perbedaannya dengan pendidikan ilmu sosial di persekolahan adalah terletak pada perbedaan tujuan pendidikan masing-masing tingkat pendidikan, sehingga berpengaruh pada luas ruang lingkup (scope) yang harus dipelajari, kedalaman materi untuk setiap pokok bahasan terpilih, dan memilih apa yang seharusnya menjadi dasar bagi pendidikan lanjutan di perguruan tinggi tersebut. Dasar pemilihan materi tersebut adalah kedudukan materi yang akan diajarkan dalam suatu disiplin ilmu, bentuk pendidikan ilmu sosial yang dikehendaki, dan pertimbangan pendidikan mengenai tujuan dan fungsi suatu lembaga pendidikan didalamnya termasuk pertumbuhan mengenai perkembangan peserta didik, perkembangan dalam teori belajar dan proses belajar, arah politik, kondisi sekolah, dan lingkungan sosial budaya suatu lembaga pendidikan berada.
Secara spesifik dan lebih rinci, Somantrie (2005:4) menjelaskan pengetahuan sosial dan ilmu-ilmu sosial sebagai program pendidikan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Have as a major purpose the promotion of civic competence-which is the knowledge, skills, and attitudes required of students in our democratic republic.(2 )Integrate knowledge, skills, and attitudes within and across disciplines. (3) Help students construct a knowledge base and attitudes drawn from academic disciplines as specialized ways of viewing reality. (4) Reflect the changing nature of knowledge, fostering entirely new and highly integrated approaches to resolving issues of significance to humanity.

Dikaitkan dengan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Winataputra (2007:4) menyebutkan misi Pendidikan Ilmu pengetahuan Sosial/PIPS adalah:
Misi pertama:
­ PIPS adalah PKn (wajib dan mandiri) plus IPS (sebagai bahan kajian)
­ Fokus PKn adalah warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab
­ Fokus IPS adalah berilmu, cakap, kreatif, mandiri
­ Tujuan PKn adalah rasa kebangsaan dan cinta tanah air
­ Tujuan IPS adalah pengetahuan, pemahaman, kemampuan analisis atas kondisi sosial masyarakat
­ IPS dapat dikemas dalam lebih dari satu mata pelajaran dan/atau berkolaborasi dengan bahan kajian lain.
Misi kedua: Muara Pkn dan IPS adalah:
­ Pengembangan kemampuan
­ Pembentukan watak
­ Pembangunan peradaban bangsa yang bermartabat
­ Pencerdasan kehidupan bangsa

Sedangkan bentuk pendidikan ilmu-ilmu sosial sangat tergantung dari definisi atau pengertian yang dianut seseorang. Hasan (1996:14-20) menyebutkan secara umum ada dua posisi bentuk pendidikan ilmu-ilmu sosial. Pertama, pendidikan yang menggunakan materi dari disiplin ilmu-ilmu sosial sebagai salah satu sumber materi/pokok bahasan kurikulum. Kedua, pendidikan ilmu-ilmu sosial yang menggunakan pendidikan disiplin ilmu sosial sebagai sumber materi pendidikan.
Penganut kelompok kedua terbagi atas dua bagian, yaitu mereka yang menginginkan agar pendidikan disiplin ilmu tersebut dilakukan secara terpisah sehingga merupakan pendidikan disiplin ilmu yang utuh, dan mereka yang menginginkan pengajaran disiplin ilmu tidak terpisah melihat keuntungan yang lebih besar bagi pendidikan. Kelompok yang menginginkan pendidikan disiplin ilmu sosial secara terpisah biasanya disebut golongan intelektual tradisional, dan mereka yang menginginkan adanya keterhubungan disebut golongan behavioralisme sosial.
Golongan intelektual tradisional beranggapan bahwa pengajaran secara terpisah setiap disiplin ilmu adalah sesuatu yang terbaik, karena cara berfikir intelektual akan terlatih dengan baik. Pemikiran kritis, keterampilan prosedural dan proses hanya dimiliki oleh setiap disiplin secara terpisah. Dalam pendidikan ini, siswa harus sudah mempelajari cara berfikir, prosedur kerja, dan memahami berbagai pengertian.
Golongan behavioralisme sosial berpendapat keterhubungan fenomena akan memberikan pula konsekuensi terhadap keterhubungan antardisiplin ilmu-ilmu sosial. Keterhubungan itu akan dapat memberikan dampak pendidikan yang sangat luas tanpa kehilangan arti dan pemikiran dalam disiplin. Golongan ini mengajukan dua pendekatan, yaitu pendekatan korelasi/berhubungan yang sifat nya interdisiplin dan multidisiplin, dan pendekatan terpadu (integrated).
Dalam pendekatan interdisiplin, terdapat satu disiplin ilmu-ilmu sosial yang dijadikan disiplin utama dalam mengungkapkan atau melihat suatu masalah, disiplin ilmu sosial lainnya sifatnya membantu untuk mempertajam kajian. Pendekatan multidisiplin menginginkan kedudukan setiap disiplin adalah sama, sehingga permasalahan yang sama dikaji dalam berbagai dimensi dengan pendekatan keilmuan yang struktural.
Bentuk pendekatan terpadu menginginkan keterpaduan yaitu integrasi lebur dari semua disiplin ilmu-ilmu sosial. Dalam pendekatan ini terdapat dua kelompok, yaitu yang menginginkan keterpaduan yang menuju kepada pembentukan satu disiplin ilmu yaitu ilmu sosial, dan yang menginginkan integrasi tetapi tidak dalam semangat untuk menuju suatu disiplin ilmu baru.



sumber : http://iakurniaweblog.blogspot.com/2010/02/social-studies.html

Tidak ada komentar: