Menjelang Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April 2009 dan Pemilu Presiden (Pilpres) 8 Juli 2009, pelbagai atribut kampanye seperti baliho, spaduk, bendera, kalender, stiker, banner, dan selebaran berserakan di banyak tempat strategis. Bahkan, diiklankan masif melalu pelbagai media massa.
Tak hanya itu, angkutan umum dan mobil pribadi disulap menjadi media kampanye, baik oleh caleg di semua tingkatan maupun bakal capres-cawapres. Di tengah iklim politik yang kompetitif, pemasangan pelbagai atribut kampanye yang menghiasi atau malah mengotori wajah Indonesia itu sebetulnya termasuk hal yang harus dilakukan setiap caleg dan atau bakal capres-cawapres.
Setidaknya, hal itu berfungsi sebagai sosialisasi untuk memperkenalkan profil diri, visi-misi, program kerja, blue print kepemimpinan caleg dan atau bakal capres-cawapres jika terpilih. Meski demikian, mencermati content dari pelbagai atribut kampanye, yang lebih dominan ternyata promosi diri caleg dan atau bakal capres-cawapres yang cenderung berlebihan. Narsis!
Narsisme
Narsisme merupakan perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Istilah narsisme itu pertama digunakan seorang psikolog, Sigmund Freud, dalam bukunya On Narcissism: An Introduction (1914) dengan memperkenalkan seorang pemuda tampan bernama Narcissus.
Narcissus adalah tokoh dalam mitos Yunani yang dikutuk karena terlalu cinta terhadap bayangan sendiri. Pada bayangan dirinya saja Narcissus begitu cinta, apalagi pada tubuh fisiknya. Konon, banyak wanita cantik yang sangat kagum pada ketampanan Narcissus. Namun, karena terlalu cintanya Narcissus terhadap diri sendiri, dia menolak cinta para wanita, seperti peri cantik bernama Echos. Akibatnya, Dewi Nemesis pun menghukum Narcissus atas sakit hati Echos. Narcissus akhirnya tenggelam kala berkaca di kolam.
Merujuk pada mitologi Yunani tersebut, jelaslah bahwa kata narsis digunakan untuk menggambarkan perasaan cinta seseorang terhadap diri sendiri secara berlebihan. Menurut Andrew Morrison dalam buku Shame: The Underside of Narcissism (1997), dimilikinya sifat narsisme dalam jumlah yang cukup akan membuat seseorang memiliki persepsi yang seimbang antara kebutuhannya dalam hubungan dengan orang lain.
Meminjam istilah dalam kajian oksidentalisme, kesimbangan antara ego dan the other. Namun, bila jumlahnya berlebihan, narsisme bisa menjadi kelainan kepribadian yang bersifat patologis. Itulah kenapa narsisme sering diidentikkan dengan hal-hal negatif karena cirinya yang berlebihan. Di alam konteks narsisme caleg dan atau bakal capres-cawapres, sesungguhnya telah terjadi glorifikasi-diri (pemuliaan diri). Fenomena narsisme caleg dan atau bakal capres-cawapres digerakkan oleh hasrat memuliakan diri untuk sebuah kemenangan.
Hanya, glorifikasi diri itu termasuk proses psikologis ekstrem yang merebakkan ketidakseimbangan. Kalau di satu sisi terjadi glorifikasi diri, di sisi lainnya selalu terjadi proses psikologis kebalikannya, yakni demonisasi (penyetanan orang lain). Artinya, caleg dan atau bakal capres-cawapres yang memuliakan dirinya secara berlebihan telah "menyetankan" caleg dan atau bakal capres-cawapres lainnya.
Facebook
Di abad 21 yang oleh Alvin Toffler disebut sebagai abad teknologi-informasi ini, narsisme caleg dan atau bakal capres-cawapres ternyata tidak hanya ditemukan di tempat-tempat strategis seperti perempatan jalan raya atau media massa konvensional seperti radio atau televisi, melainkan sudah masuk ke sebuah layanan social networking baru bernama facebook. Sebagai salah satu pengguna layanan tersebut, saya sering mendapatkan ajakan pertemanan dari sejumlah caleg, bahkan bakal capres. Lebih dari itu, saya juga tak jarang mendapatkan ajakan be a supporter atau be a fan yang datang dari caleg dan atau bakal capres beserta tim suksesnya.
Dapat dipastikan, caleg dan atau bakal capres-cawapres menampilkan profil diri dan foto-foto terbaiknya di facebook yang didirikan dan diluncurkan lulusan Harvard, Mark Zuckerberg, pada 4 Februari 2004. Harapannya, caleg dan atau bakal capres-cawapres dari banyak partai politik bisa mendapatkan keuntungan politik seperti popularitas. Popularitas diyakini sebagai faktor penting bagi terpilih tidaknya seorang caleg dan atau bakal capres beserta cawapresnya.
Dengan pelbagai kemudahan dan fasilitas yang terkandung di dalamnya serta melihat pangsa pasar facebook yang memang lebih banyak berasal dari usia dewasa ke atas, tak salah jika facebook digunakan sebagai media baru untuk berkampanye. Mulai yang gratis hingga bertarif. Keberhasilan Obama menjadi presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat, antara lain, juga disumbang oleh nilai lebih facebook. Namun, di Indonesia yang warganya masih banyak "buta internet", berkampanye via facebook masih diragukan efektivitasnya.
Fenomena narsistis di facebook sebetulnya tidak hanya melanda caleg dan atau bakal capres-cawapres, melainkan banyak lagi pengguna facebook. Mereka yang punya pacar memajang foto terbaik bersama pacarnya. Mereka yang memiliki keluarga memajang foto bersama keluarga tercintanya dan mereka yang baru menikah memajang foto pernikahannya. Ini betul-betul dimabuk kepayang facebook.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar