Minggu, 26 April 2009

Aku Muak Padamu... ( Labirin Imsomnia )

Cerpen: Wayan Sunarta

Maafkan orang dungu ini. Apa yang mesti kutulis? Kau berulangkali menyuruhku menulis. Tulis! Tulis! Tulislah! Aku muak dengan huruf-huruf yang memenuhi tubuhmu, dengan kata-kata yang beterbangan, melesat dari ubun-ubunmu, dengan frase-frase yang menggumpal-gumpal serupa muntahan yang keluar dari mulutmu. Aku muak dengan kalimat-kalimat kosong yang serupa tarian telanjang menipuku dengan birahi pura-puranya.

Tapi kau selalu menyuruhku menuliskannya. Apa yang mesti kutulis lagi? Segala kata telah menjelma jarum-jarum tajam yang siap merajam tubuhku. Kata-kata memenuhi udara. Kata-kata kosong memenuhi ruang-ruang yang sering kau gunakan untuk menggelar pertemuan dan berbagai jenis ritual. Ruang-ruang yang sering kau pakai menyusun siasat licik untuk mengkhianati saudaramu, yang juga kau pakai bermesum dengan selingkuhanmu. Tapi aku begitu mengagumimu. Hanya kagum. Sebab aku tidak sudi mencintaimu. Sebab kau tidak layak dicintai.

Tapi mohon maafkan orang gila ini. Beri aku sedikit anggur! Aku ingin mabuk anggur saja. Tentu lebih nikmat! Arak telah tandas dari guci-gucinya. Mungkin dengan sedikit mabuk, kata-kata bisa berhamburan kembali dari dalam benakku, mengeram dan beranak-pinak di kertas-kertas kosong yang kau berikan.

Apa yang indah dari kisah-kisahmu yang tak bermutu itu? Kau hanya mengulang kejadian sehari-hari, tanpa pernah meramunya menjadi suatu masakan yang diidam-idamkan oleh kebanyakan orang. Bisa-bisa kepalamu dipenggal gara-gara menyuguhkan kisah-kisah yang tidak jelas sumber kebenarannya itu. Tapi kau malah menyuruhku menuliskannya. Setan gundul, apa kau pikir gampang menulis kepalsuan? Menulis kepalsuan juga perlu strategi. Namun tentu kau lebih jago bersiasat ketimbang aku. Ya, kau akan menghujatku lagi sebagai orang bodoh yang tidak bisa apa-apa, selain mengeluh dan mengeluh.

Kau lihat berbagai kitab telah diterbitkan oleh para pendekar muda dalam dunia persilatan. Kitab-kitab yang menyajikan keluwesan mereka bermain silat kata-kata. Aku sendiri merasa gerah dengan kitab-kitab yang bebas beredar di pasaran. Kitab-kitab itu sangat jarang menunjukkan mutu yang bagus tentang tata cara bermain silat kata-kata. Mereka kebanyakan pamer jurus-jurus kosong saja. Boleh kau bilang aku iri pada mereka karena kitabku belum juga terbit padahal aku telah merambah dunia persilatan sejak bertahun-tahun lalu. Tapi aku sejujurnya berkata, mereka hanya pamer jurus-jurus yang dengan mudah akan dilumpuhkan oleh lawan-lawannya. Mereka perlu bertapa lebih lama lagi. Tapi, apa hubungan silat dengan kata? Dalam ilmu silat ada nomor satu, dalam ilmu surat semuanya nomor satu, ujarmu.

Agaknya sengatan aroma anggur telah membuatku sedikit oleng dan mual. Maafkan aku, aku harus mulai lagi menulis suatu hal yang belum jelas benar, yang belum kupahami akan ke mana alurnya. Seperti apa jadinya kertas putih ini nanti. Mungkin akan berisi suatu dunia yang entah apa. Mungkin hanya berisi tumpukan sampah, atau sesuatu yang lebih busuk melebihi sampah paling busuk. Entahlah…

Kau boleh mengatakan alur itu tidak penting. Tapi sesungguhnya alur atau jalan kisah yang akan membuatmu berkerut kening, yang akan membuat kertas kerjamu kosong melompong selama beberapa waktu. Ya, kau boleh membantah terus, itu tidak apa-apa. Sebuah cerita tanpa alur, mungkin seperti cerita yang sedang kau baca ini, tidak jelas juntrungannya. Maafkan aku telah membuatmu pusing membaca tulisan sampah ini. Maafkan…

Aku pernah sampai pada keinginan untuk membentur-benturkan kepalaku, karena sesuatu terasa menyumbat batok kepalaku untuk menghamhurkan kata-kata. Tentu keadaan seperti itu sangat menyiksa diriku. Namun pada akhirnya sebuah mula dari kitab berhasil juga kutulis. Ah, perjuangan itu memang meletihkan! Tapi pernahkah kau menghargai perjuangan dan kegigihanku? Kau hanya bisa menertawai kebodohanku. Atau paling sering mencibir sinis ketika aku tidak bisa menuangkan sepatah kata pun! Tentu aku hanya bisa memakimu dalam hati: babi busuk!

Tapi sungguh, aku mengagumimu! Kapan kau mengajakku mabuk bir lagi? Ya…minum di tepi pantai lebih nikmat ketimbang di diskotik. Terus terang aku tidak begitu suka kebisingan dan bau keringat perempuan dan lelaki yang berjingkrak-jingkrak mengikuti musik setan itu. Aku lebih menikmati keteduhan bunyi lenguh ombak, yang seringkali kubayangkan bagai lenguh kekasihku di ranjang.

Tapi kini aku tidak memiliki kekasih lagi. Cintanya telah dicuri oleh lelaki lain, temanku sendiri. Ya, memang bangsat! Tapi apa boleh buat? Mungkin dia, mantan kekasihku yang pernah kusetubuhi di pelataran candi, menyesal pernah bercinta dengan lelaki dungu sepertiku. Atau dia memang seorang petualang cinta yang suka mengumbar birahi ke mana-mana, seperti katamu. Atau jangan-jangan dia keturunan lonte yang haus cahaya, yang memburu terang dalam kekelaman malam. Tapi sudahlah, persetan dengan lonte itu!

Ehm, pernahkah kau punya keinginan untuk menyayat nadi di pergelangan tanganmu dan membiarkan darahnya mengalir di dalam westafel? Atau menjerat lehermu sendiri dengan tali sehingga lidahmu menjulur dengan indah seakan mengejek dunia yang busuk ini? Aha..bagaimana kalau sesekali kita mencoba meletuskan pistol di pelipis meniru permainan rolet Rusia? Yang terakhir ini tentu lebih mengasyikkan sebab rasa sakit yang kita takuti tidak begitu menyengat. Kalau untung, kita bisa dapat uang. Kalau lagi apes, otakmu akan berhamburan di meja makan.

Oh, mengapa aku begini? Agaknya depresi kembali menyerang diriku. Penyakit satu ini pernah kubaca di sebuah harian, dan itu sangat mengerikan. Namun kenapa aku tidak mengetahui jauh sebelumnya perihal gejala-gejala penyakit satu ini. Aha, mungkin karena aku terlalu banyak menghabiskan waktu dalam rangkuman malam dan arak dan….

Apakah ini cerita yang kau idamkan? Apakah ini sastra? Oh…hanya orang-orang tolol menganggap tulisan ini sebuah cerita! Aku tidak bermaksud menulis cerita. Ini hanya kisah keluh-kesahku saja. Janganlah kau berkeras hati memasukkan cerita ini ke dalam golongan prosa atau apalah namanya. Masukkan saja kisah ini ke dalam tong sampah, seperti yang biasa kau lakukan ketika berhadapan dengan kisah-kisah memuakkan. Beres perkara, bukan?

Baik. Baiklah…! Kita mulai dengan nuansa malam yang selalu kunikmati dan kuhikmati dalam waktu keheningan, dalam waktu-waktu biru. Aku akan mencoba ceritakan pada kau bagaimana aku telah jatuh cinta pada malam. Yah…malam di tepian pantai, bersama arak dan tentu saja lenguh perempuan.

Aku hanya pengidap insomnia yang tidak terlalu parah sebenarnya. Namun dengan ditambah depresi yang menyerangku akhir-akhir ini, insomniaku tambah parah saja. Kau lihat sendiri wajahku makin pucat melebihi mayat yang terendam dalam air kolam. Mungkin karena itu aku suka mencintai malam sekaligus membenci malam, karena malam tak sudi memberiku sedikit pun waktu untuk tidur.

Maka ada-ada saja yang kukerjakan ketika malam. Namun lebih sering kulewati dengan menenggak arak. Beberapa hari terakhir ini kucoba belajar menulis, menulis apa saja. Aku hanya menulis tanpa ada keinginan untuk menjadi penulis secara serius. Namun kau mengejek tulisanku. Kau seperti krikitus yang haus darah ingin membantai. Tentu saja aku tidak terima. Ingin rasanya aku membunuhmu. Namun setelah kusadari bahwa aku menulis hanya untuk menulis, tanpa ada niat untuk mengirim ke koran seperti usulmu, maka kuampuni kritikanmu.

Pernah pula aku mencoba menjadi waker di sebuah perusahaan. Namun tidak bertahan lama karena aku bertengkar dengan teman sekerjaku gara-gara kalah dalam permainan kartu. Aku hampir membacoknya, aku hampir pula dibacoknya. Sejak itulah aku lebih berhati-hati dengan orang agar tidak menyinggung perasaannya.

O, anggur, kaulah kekasih sejatiku. Beri aku seteguk lagi, agar harapan semakin nyata merubung hidupku. Sebab telah lama aku kehilangan harapan, dan aku hanya menulis kisah-kisah yang sia-sia, yang hanya akan menghuni tong sampah di sudut kamarku yang pengap.

Tapi seperti yang sering kubilang bahwa aku terlalu mencintai pantai. Aku kadang ingin berbaring di tepi pantai sambil menikmati gemintang di langit malam. Lalu setelah aku mampu terlelap, aku berharap ombak menggulung tubuhku. Tentu suatu saat nanti mayatku akan ditemukan entah di pantai mana. Atau mungkin akan membusuk dalam perut hiu-hiu lapar.

Maafkan aku, sebab aku hanya mengikuti naluri keisengan, menulis sesuatu yang bisa jadi membuat keningmu berkerut-kerut. Dan tentu saja aku tidak akan bersedih jika tulisan ini kau robek-robek atau kau bakar hingga menjadi abu, hingga tanpa sisa, sebab abu akan menyatu dengan udara, seperti abu mayatku kelak.

Maafkan aku, sebab insomniaku yang kembali kumat malam ini. Aku hanya mampu mengigau sesuatu yang jelas sia-sia. Tapi tentu saja aku tidak akan peduli sebab hanya itu yang mampu aku lakukan untuk menghibur diriku di tengah orang-orang yang telah terlelap menikmati mimpi-mimpi indahnya. Mungkin aku akan menjelma mimpi buruk bagi mereka. Aku akan mengganggu tidur mereka, sebab aku tidak bisa tidur!

Namun apa yang mesti kutulis lagi agar bisa mengganggu tidur mereka yang nyaman itu? Aku tidak berniat melanjutkan tulisan ini. Terima kasih. Semoga kau sudi membacanya, sebelum kau temukan tubuhku kaku di hamparan pantai yang pernah kucintai diam-diam. Atau kau tidak akan pernah menemukan sisa hidupku sama sekali. Sebab aku terus menerus berputar-putar dalam labirin insomnia, dalam kepala penulis gila! ***

Tidak ada komentar: